Hoax tidak akan berhenti, media sosial, jika ia dianggap sebagai salah satu pemicu lahirnya hoax, juga tidak bisa ditutup begitu saja. Karena apa yang terjadi ini adalah keniscayaan sejarah.
Paparan ini disampaikan Suko Widodo, dosen Universitas Airlangga, salah satu narasumber dalam Seminar Nasional ‘Media Siber : Good Journalism vs Hoax di Era Post-Truth’, Harris Hotel Surabaya, Sabtu (18/5/2019).
Dalam seminar yang digelar dalam rangka hari jadi Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) ini, Suko mengingatkan, seperti disampaikan Jean Baudrillard, sosiolog Perancis, ini adalah zaman Simulacra. Sebuah zaman yang dapat diartikan sebagai ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung.
Manusia hidup dalam suatu realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, antara asli dan palsu, sangatlah tipis. Dunia-dunia tersebut dapat diibaratkan seperti Disneyland, Universal Studio, Cina Town, Las Vegas atau Beverlly Hills.
“Lewat media media informasi, seperti iklan, telivisi, dan film dunia simulasi tampil sempurna,” jelas pakar komunikasi politik ini.
Dunia simulasi itulah yang kemudian dapat dikatakan tidak lagi peduli dengan realitas atau kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi, karena semua melebur menjadi satu dalam silang sengkarut tanda.
Lebih jauh Suko kemudian memaparkan, revolusi industri ke-empat mengubah ekonomi, pekerjaan, dan bahkan masyarakat itu sendiri. Berbagai teknologi fisik dan digital yang digabungkan melalui analitik, kecerdasan buatan, teknologi kognitif, dan Internet of Things (IoT) untuk menciptakan aktivitas digital yang saling terkait dan mampu menghasilkan keputusan yang lebih tepat.
Di tahun 2018, lanjutnya, lebih dari 140 juta penduduk Indonesia adalah pengguna internet. Mereka menggunakannya juga melalui gadget. Sebagian adalah orang muda yang senang terhubung (connected) dan berkomunikasi (communicate), serta menggandrungi perubahan (change).
Dalam kondisi semikian, karakteristik media pun beradaptasi. Yaitu digital, interactivity, hyperteks, simulated, virtual, dan networked.
“Dunia tidak perlu menunggu waktu satu abad untuk mengalami perubahan era digital. Anak sekolah sekarang ketika dewasa kelak akan berhadapan dengan digitalisasi kehidupan,” jelas Suko dalam presentasinya.
Diperkirakan 65 persen ragam pekerjaan sekarang akan tergantikan oleh jenis pekerjaan baru yang kini belum terbayangkan.
Zaman baru memberi ruang pada generasi yang menghadapi pergeseran kebiasaan lama ke tradisi baru yang tidak mudah menduga arahnya. Perkembangan dunia digital begitu dinamis yang lambat laun bukan sekadar mempengaruhi tapi mengubah gaya hidup masyarakat tanpa dapat dihindari oleh siapa pun.
“Industri 4.0 membuat pola produksi dan jasa bersifat otomasi,” lanjut Suko. McKinsey Global Institute meneliti dan memprediksi sekitar 30 persen tugas dari dua pertiga jenis pekerjaan akan dapat digantikan oleh teknologi seperti robot atau kecerdasan buatan.
McKinsey juga memprediksi otomatisasi tersebut akan mengakibatkan hilangnya 3-14 persen profesi pada 2030. Sekitar 75 hingga 375 juta tenaga kerja di dunia harus berganti bidang mata pencaharian.
“Di era disruption, manusia menemukan cara baru melakukan berbagai hal. Termasuk menggandengkan kehidupan konvensional dengan teknologi,” jelasnya lagi.
Adaptasi, kata Suko, menjadi kunci utama dalam menyikapi perubahan. Terjadinya ‘disruption’ sebagai implikasi perkembangan IT, selayaknya kebijakan negara disesuaikan dengan kebutuhan nyata masyarakat. (hdl | foto : ahmad mukti)