Tepat dua dekade sejak berlakunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers Tanah Air menemukan sebuah tantangan baru. Jika dulu salah satu momok yang paling ditakuti pers adalah ancaman pembredelan, kini tantangan utamanya adalah bagaimana menemukan model bisnis yang relevan untuk menjaga kesinambungan perusahaan pers.
Era disrupsi yang tengah melanda dunia menjadikan pers berada dalam pusaran ketidakpastian. Perubahan model bisnis dari konvensional menjadi penggunaan platform daring (online) ternyata tidak cukup mampu dijawab melalui penyesuaian diri sebagian perusahaan pers yang sebelumnya menggunakan model bisnis cetak.
Komisaris PT Tempo Inti Media, Bambang Harymurti mengungkapkan hingga kini belum ditemukan model bisnis pers yang benar-benar mapan di era digital. Yang jelas, bisnis pers cetak tergerus oleh media daring. “Sebagai dampak dari disrupsi, era digital mengancam keberlangsungan model bisnis pers konvensional,” ujar Bambang dalam sebuah diskusi di Hall Dewan Pers, Senin (23/9).
Menurut Bambang, selama era digital berlangsung, perusahaan pers belum bisa menemukan model bisnis yang stabil. Kondisi ini berdampak kepada pendapatan media. Belum ada satu pun media masa yang secara konsisten memperoleh pemasukan yang terus meningkat dari iklan setelah berusaha merubah platform bisnisnya dari cetak ke online.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, Bambang berpendapat sumber pendapatan utama media yang selama ini bersumber dari iklan tidak lagi dijadikan priorotas. Menurut Bambang, media di luar negeri menggunakan pola dengan membangun engagement dengan pembacanya melalui produk berita yang berkualitas serta akses berita melallui aplikasi berbayar. “Bukan dari pengiklan tapi dari jumlah pembaca setia yang berlangganan. Seperti The New York Times,” ujar Bambang.
Namun, menurut Bambang, masih ada harapan untuk media cetak hidup di Indonesia. Sebab, masa transisi di era teknologi yang masih berjalan sehingga peran media cetak masih terus diperlukan. Asalkan ada upaya menyesuaikan diri dengan secara perlahan. Salah satunya dengan bertransformasi menggunakan platform online.
“Koran yang sukses adalah yang konsen kepada pembaca, bukan kepada iklan. Saya yakin kalau pembaca banyak, punya komunitas, maka pers cetak akan hidup. Makin tinggi pengaruhnya akan makin sukses secara bisnis,” terangnya.
Senada dengan Bambang, Pimpinan Redaksi Tirto, Sapto Anggoro menyebutkan bahwa media yang menggunakan online tidak hanya cukup menggantungkan pendapatan melalui iklan. Tetapi mesti menjaring pembaca sebanyak-banyaknya. Menurut Sapto, lingkungan dan ekosistem media terus mengalami perubahan. Dengan begitu media pun harus mampu menyesuaikan diri. “Kami di Tirto selama setahun tidak menerima iklan dulu. Fokus meningkatkan performance kuantitas berita hingga sekarang iklan mulai datang,” ujarnya.
Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers Pusat, Januar Ruswita mengungkapkan, pendapatan media cetak dari sisi iklan sejak tahun 2011 terus mengalami penurunan. Angkanya bahkan hingga 10 persen setiap tahunnya. Tapi bukan berarti tidak ada jalan keluar. Menurut Januar, kekuatan brand dari perusahaan media memungkinkan untuk mengembangkan model bisnis lain. “Misalnya dengan menyelenggarakan event, kerja sama dengan pemerintah, media print masih punya kekuatan. Bagaimana caranya menjaga brand? Dengan meningkatkan tiras. Ini yang sangat berat,” ujarnya.
Ia meyakini dengan menjaga brand serta kualitas produk jurnalistik maka bisnis media masih bisa bertahan. Meskipun banyak media yang bermunculan, secara kualitas masih ada yang patut dipertanyakan. Cara kerja media yang tak menjaga kualitas berita, menurut Januar, tidak boleh ditiru media mainstream yang sudah dipercaya publik.
Anggota Dewan Pers Pusat, Asep Setiawan mengungkapkan, secara garis besar kemerdekaan pers terus mengalami perbaikan. Meskipun masih terjadi beberapa insiden. Dengan begitu jika dibandingkan dengan situasi di era Orde Baru, situasi kemerdekaan pers saat ini telah jauh lebih baik. Hal ini secara langsung menjadi tantangan bagi pers. Kemerdekaan pers diikuti menjamurnya perusahaan pers, sehingga sedikit banyak mempengaruhi kualitas dan independensi redaksi akibat pembagian kue iklan yang semakin terbatas.
Asep juga menyebutkan bahwa UU Pers yang ada hari ini masih relevan dengan kemajuan era teknologi dan demokrasi. Meski begitu, sebuah perusahaan pers mesti mampu bertransformasi demi menjaga kelangsungan hidup. Faktanya, jumlah pertumbuhan media online di setiap daerah terus bertambah, berbanding terbalik dari perusahaan pers cetak yang terus menurun dalam lima tahun terakhir.
Direktur Informasi, Komunikasi, Pembangunan dan Kebudayaan Kemenkominfor, Wiryata mengungkapkan situasi dimana peran media sosial yang terus bergerak dan seolah menggesr peran media massa. Kecepatan informasi yang diberikan oleh media sosial menjadi tantangan bagi media masa. Hal yang bisa menjadi pembeda adalah akurasi pemberitaan yang berasal dari produk jurnalistik.
“Tentu saja media masa terutama cetak harus kembali merebut kepercayaan dari khalayak dan juga mendiferensiasi diri secara kuat terhadap media sosial karena tidak memenuhi kaidah pers. Sayangnya belakangan pers meniru media sosial. Baik dari penyajian maupun akurasi,” ujar Wiryata.
sumber : hukumonline.com