Pakar disrupsi Indonesia, Prof Rhenald Kasali mengingatkan agar pelaku usaha dan BUMN bisa membedakan ancaman resesi dengan disrupsi.
Terlebih saat sejumlah unicorn mulai diuji di pasar modal dan beralih dari angel investor ke publik. Tahun lalu, 12 unicorn global menguji nyali di NYSE walaupun totalnya rugi $14 miliar. Setelah itu berita buruk terhadap Uber membuat harga sahamnya anjlok.
“Di sini berita tentang PHK di Bukalapak juga menghiasi media sehingga banyak pertanyaan,” kata Rhenald dalam rilisnya kepada Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Rabu 16 Oktober 2019.
Menurut Rhenal, ancaman resesi, kali ini menimpa negara-negara yang perekonomiannya mengandalkan pasar ekspor.
Indonesia mungkin sedikit terganggu, tetapi tidak sebesar Singapura atau Thailand yang benar-benar mengandalkan ekspor.
“Sedangkan ancaman disrupsi, bisa lebih berbahaya, khususnya bila CEO menggunakan cara-cara lama dan terlena,” paparnya.
Ia menambahkan, disrupsi teknologi mengakibatkan pasar tergerus oleh pendatang baru, mengalami great shifting, terimbas substitusi dan mengakibatkan sumber2 pendapatan usaha yang utama kehilangan relevansi.
Saat ini tak ada lagi pendapatan dari penjualan koran dalam industri suratkabar. Mie instan terancam Gofood. Kantor-kantor cabang bank masih dipertahankan, kendati sudah jarang nasabah yang datang.
“Kelak, kalau kendaraan beralih ke mobil listrik, bagaimana nasib SPBU atau pompa bensin? Belum lagi model bisnis yang mengandalkan kendali atas seluruh sumberdaya yang digantikan platform yang efisien,” tambahnya.
Kendati begitu, ia mengatakan disrupsi lebih mudah diatasi ketimbang resesi. Karena kendali ada di tangan CEO. Karena itulah ia mengingatkan agar CEO menggunakan cara-cara baru. Ubah sudut pandang dan jangan asal membeli teknologi. Lalu sudah merasa telah melakukan transformasi digital.
Saat ini mulai banyak CEO yang tertarik berinvestasi pada startup milik anak muda. Namun agak terganggu dengan ancaman resesi, berita-berita buruk tentang ancaman PHK yang terjadi di sejumlah platform seperti Uber dan Buka lapak dan cara pandang lama.
“Start up itu bersifat expansif, sedang pada fase pertumbuhan. Metricnya adalah growth dan matching quality. Sedangkan korporasi metric nya adalah ratio keuangan yang mencerminkan keuntungan dan efisiensi,” kata Rhenald.
Kasus-kasus itu harus dilihat kasus per kasus. Startup memang masih dalam tahap pertumbuhan dan banyakyang belum punya sumber pendapatan yang bisa diandalkan, namun sudah berani IPO.
Ini yang mengakibatkan nasib mereka terpuruk. Problemnya adalah model bisnis. Lalu juga ada yang tidak mampu mempertahankan keseimbangan antara harga murah yang diinginkan pasar atas jasa-jasanya dengan keinginan vendor yang tak mau diberi margin rendah.
“Ketidakmampuan mengelola ketiganya bisa berakibat platform semakin ditinggalkan. Namun ini tak terjadi pada semua startup,”
Para CEO kini dituntut untuk memahami cara kerja baru. Tak cukup bermodalkan metric lama yang dipelajari di business school pada era tahun 80-90an.
“Kalau tidak pelaju usaha kita akan semakin diserang asing secara proxy menggunakan platform dari jauh. Kita hanya menjadi penonton saja sambil menyalahkan resesi,” tutup Rhenald.
sumber : terkini.id