Kepolisian Daerah Jawa Timur terus memerangi tindak kejahatan siber terutama mengenai hate speech dan penyebaran informasi tidak benar (Hoax) yang melanggar Undang-undang ITE.
Data yang dihimpun Surya dari pihak Kepolisian menyebutkan Indonesia menempati urutan ke-4 yang memiliki tingkat kejahatan Siber tertinggi di dunia, setelah China, Amerika Serikat dan Kanada.
Kasus tindak kejahatan Siber yang ditangani pihak Kepolisian melalui Subdit V Cybercrime Ditreskrimsus Polda Jatim cenderung mengalami peningkatan sepanjang tahun.
Kasubdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim, AKBP Cecep Susatiya mengatakan peningkatan kejahatan Siber lebih didominasi hate speech atau ujaran kebencian dan pencemaran nama baik melalui akun media sosial.
“Adapun kasus menonjol adalah ujaran kebencian video vlog yang dibuat oleh terlapor (Ahmad Dhani) mengatakan yang demo diluar ‘Idiot’ pada orasi depan Hotel Majapahit dengan tuntutan agar tidak orasi #Ganti Presiden 2019,” ungkap AKBP Cecep Susatiya kepada Tribunjatim.com saat ditemui di ruangannya kemarin.
Cecep menjelaskan dari perbandingan data kasus tindak pidana Siber yang ditangani Polda Jatim tercatat ada 51 laporan masuk di tahun 2017.
Sedangkan prosentase penyelesaian kasus sebanyak 60, 70 perse atau 31 perkara. Paling banyak yakni pada 2018, tercatat ada peningkatan yakni 69 laporan masuk kasus Siber dengan prosentase penyelesaian sekitar 62, 31 persen yaitu 43 perkara.
“Di tahun 2019 sampai saat ini tercatat ada 26 laporan masuk kasus Siber yang sudah ditangani adalah lima kasus menonjol mengenai penyebaran informasi tidak benar (Hoax),” jelasnya kepada Tribunjatim.com.
Lanjut Cecep, masih di 2018 pihaknya menangkap pemilik akun media sosial yang menyebarkan informasi Hoax mengenai gempa di Lombok dan Bandung, Jakarta gempa dan lainnya. Informasi Hoax itu bisa memicu keresahan masyarakat hingga berpotensi memicu kegaduhan publik.
Namun sayangnya, pelaku penyebar Hoax tidak di penjara karena ancaman hukumannya dibawah enam tahun. Kendati demikian, pelaku penyebar Hoax tetap diproses secara hukum hingga ke meja pengadilan.
Penyidikan terkait kejahatan Siber yakni menggandeng ahli hukum pidana yang merumuskan pasal yang dilanggar oleh pelaku, ahli ITE untuk membuktikan konten media sosial itu benar akun itu milik pelaku sesuai barang bukti yang disita Polisi.
Pihaknya menegaskan tidak ada tebang pilih terkait pelaku yang melakukan penghinaan terhadap kepala Negara. Pasalnya, sebagian masyarakat beranggapan pelaku penghina Kepala Negara selalu diusut hingga di penjara. Pihaknya menangkap pelaku penyebar informasi Hoax mengenai pemilihan Presiden 2019.
“Tidak ada diskriminasi antara pelaku penghina Kepala Negara dan pelaku penyebar Hoax semuanya diproses sesuai hukum dan pasal yang disangkakan sesuai perbuatannya,” pungkasnya.
Ditambahkannya, usia pelaku rata-rata di atas usia 20 tahun. Mulai dari pendidikan rendah hingga perguruan tinggi. Pelaku penyebar Hoax biasanya berpendidikan rendah 70 persen tidak lulus SMA. Mereka biasanya ikut-ikutan menyebarkan Hoax hingga ujaran kebencian ingin eksis di media sosial dan tidak paham dampak konten disebarkan ke masyarakat.
Adapun pelaku penghinaan terhadap kepala Negara yang sudah ditangkap yaitu, Hairil Anwar warga Desa Panaan Kabupaten Pamekasan Madura. Modus operandi tersangka menyebarkan informasi provokatif/ ujaran kebencian yakni menghina kepala Negara dengan kata-kata kasar.
“Mereka terlapor menyesal bahkan kapok bermedia sosial tidak melakukan perbuatannya lagi,” imbuhnya.
sumber : jatim.tribunnews.com