Peter Apollonius Rohi, jurnalis senior itu meninggal dunia. Ia menghembuskan nafas terakhir di RS Katolik St. Vincentius a Paulo (RKZ), Surabaya, Rabu (10/6/2020), pagi.
“Bapak meninggal pukul 06.45 WIB,” kata Don Peter, puteranya. “Karena situasi dan kondisi sekarang, bapak diperlakukan seperti pasien Covid-19,” tambah Don. Artinya, hari itu juga Peter harus segera dimakamkan di TPU Keputih, lengkap dengan protokol yang ada.
Peter Apollonius Rohi lahir di Nusa Tenggara Timur (NTT) 14 November 1942. Sejak tahun 1970-an, setelah sempat dikenal sebagai penyair, ia menerjuni dunia jurnalistik. Mulai dari Sketsmassa, Suara Indonesia, Trem, Pikiran Rakyat, Suara Indonesia, Jayakarta, Surya, Suara Bangsa, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Mutiara, Koran Indonesia, dan lain-lain.
Berbeda tempat bekerja, Peter tak pernah berbeda dalam membuat standar karya. Ia selalu bersungguh-sungguh. Beberapa kali mendengar cerita perjalanan jurnalistiknya, kesan kita hanya satu ; dialah kamus berjalan investigative reporting Indonesia.
Saat menjadi narasumber dalam Forum ‘Rasan-rasan Serius Media Cetak tak Pernah Padam’, forum bulanan Klub Jurnalistik, di Warung Mbah Cokro, Surabaya, empat tahun lalu, wartawan senior dan sejarawan independen ini pernah bercerita, bagaimana suatu saat mesti mengarungi sungai dengan perahu kecil demi mencapai tempat liputan pada malam hari.
“Malam hari, berkabut, persis film horor,” candanya. Ia juga biasa bekerja dalam batas kesabaran, macam duduk berjam-jam di atas kerbau untuk mendata nomor polisi kendaraan yang melintas, bahkan bersabung nyawa gara-gara liputan penembak misterius, dan lain sebagainya.
“Kita selalu bekerja untuk prioritas yang lebih besar. Karena tujuan kita berjurnalistik sudah jelas. Bukan untuk kita, tapi orang lain. Kelompok yang harus diselamatkan, atau mereka yang ditindas,” katanya.
Bicara prioritas, ia lantas berkisah, suatu saat pernah dapat tawaran membuat liputan di Jepang. Ia balik bertanya, “Berapa biayanya? Lebih baik dipakai liputan ke pulau-pulau terpencil di Indonesia”.
Peter meyakini, begitu banyak persoalan yang lebih penting untuk diungkap di Nusantara kita. Tentang keindahan Indonesia, warga pedalaman yang terancam industrialisasi, hingga minimnya jaminan penegakan hukum di masyarakat. Bukan Jepang, pun negeri-negeri lain di dunia.
“Karena media massa adalah dokumentasi peradaban. Jika untuk mendokumentasikan peradaban kita belum beres, ngapain ke (negara) yang lain,” tanya dia saat itu.
Tokoh yang memiliki peran besar dalam rekonstruksi sejarah Soekarno, Presiden RI pertama ini juga pernah membuat kritik. Betapa media cetak yang ada saat ini, banyak yang terjebak pada pemberitaan seremonial atau narasumber tunggal.
“Saya pernah membandingkan beberapa koran terbitan Jakarta. Headline-nya sama. Ini kan aneh,” kata dia.
Peter percaya, dalam berjurnalistik ada dua gagasan sederhana. Jika kita tidak mampu menyuguhkan informasi lebih cepat atau eksklusif, maka kita harus mampu membuat liputan yang jauh lebih lengkap, mendalam, dan lebih mampu bersuara. Tanpa itu, tak perlu ada pemberitaan ulang atau duplikasi.
Karena itu pula Peter kemudian mengingatkan. Hutan sudah berkorban banyak untuk kita. Untuk kertas koran, berapa hektar hutan yang dikorbankan? Jadi, kata Peter, jangan pernah sia-siakan pengorbanan itu dengan memunculkan berita sampah di surat kabar.