Perubahan adalah keniscayaan. Jika ini juga berlaku di industri media massa, bukan lantas mematikan semangat berjurnalistik. Karena roh industri ini adalah jurnalisme itu sendiri.
Paparan ini disampaikan Dwi Eko Lokononto, Pemimpin Redaksi Beritajatim.com, saat menjadi salah satu nara sumber dalam Seminar ‘Bebaskan Jemari Pers’ di Sport Center Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Minggu (28/4/2019) siang.
Di depan peserta forum yang digelar dalam rangka hari jadi LPM AlamTara ini Lucky, panggilan akrabnya, kemudian memberi contoh strategi yang dilakukan Washington Post, surat kabar terbesar dan tertua yang berdiri tahun 1877 di Washington, Amerika Serikat.
“Washington Post berstrategi dengan media baru. Dengan membuat media online, Washington Post mencoba menyodorkan platform berbeda pada pembacanya,” jelas anggota Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) ini.
Dengan membuat media online, Washington Post mencoba menjangkau pembaca di wilayah yang lebih luas, baik secara geografis dan konten. Secara konten tentu diberlakukan kebijakan yang berbeda, bukan sekadar memindah versi cetak ke online.
“Apa boleh buat. Industri media cetak memang turun, tapi bukan secara kualitas. Jika ada yang kemudian secara sadar membuat online, di antaranya karena godaan media sosial,” jelas Lucky.
Media sosial, lanjutnya, adalah teman sekaligus musuh bagi media massa. Karena yang namanya Facebook, Instagram, Twitter, dan lain-lain, ini juga media. Hanya saja ada embel-embel media sosial.
Tapi faktanya di industri digital, mereka adalah media. Yang membedakan, mereka tidak punya tim redaksi atau editor konten sendiri. Tapi suplai konten tetap, dari jutaaan penggunanya.
Tiap detik ada berapa konten yang tersebar di media sosial. Tak heran jika mereka tetap menguasai raihan keuntungan terbesar dari online, di seluruh dunia.
Apa yang dilakukan media cetak di era digital seperti sekarang? “Strategi konten, itu jelas. Di antaranya, media cetak perlu mengurangi porsi pemberitaan straight news, lari ke features, indepth news, dan seterusnya,” tegas Lucky.
Hal ini perlu dilakukan karena media online dengan segenap karakteristiknya, lebih memungkinkan menyuguhkan informasi secara cepat.
“Apa yang terjadi hari ini akan diberitakan beberapa saat kemudian. Ini media online. Sementara media cetak baru besok pagi. Kalau secara konten sama saja ya bunuh diri,” katanya.
Di sisi lain, bicara tantangan media online, seiring murahnya biaya berinternet, jumlah pengguna tentu saja makin berlimpah. Dan saat ini terjadi, maka standar kualitas dan layanan media juga terus berubah.
Lucky memberi ilustrasi, dulu di awal memulai, Beritajatim.com dapat pengunjung 30 ribu sudah senang. “Sekarang 1,2 juta biasa saja. Ada target yang berubah, naik dan terus naik. Ini tantangannya,” aku alumnus Universitas Airlangga Surabaya ini.
Di situ, media online rentan tergoda untuk menghamba pada SEO atau Search Engine Optimization. Kontennya asal bombastis, asal mencuri perhatian. Esensi SEO yang complicated disederhanakan dalam clickbait.
Demi memperoleh penghasilan iklan daring, mereka rela mengorbankan kualitas, akurasi, bahkan hanya mengejar sensasi. Jauh dari gagasan good journalism. “Ini tentu sesuatu hal yang keliru. Karena masyarakat butuh good journalism, bukan informasi yang menyesatkan,” tandas Lucky. (hdl)