Banyak pihak masih alergi dengan sikap kritis media massa. Sehingga ketika ada pemberitaan yang tidak sesuai, maka akan dilawan bukan dengan adu narasi atau bukti dan hak jawab, tapi dengan langkah-langkah yang mengabaikan budaya literasi kritis.
Misalnya dengan kuat-kuatan buzzer di medsos, mendiskreditkan media, bahkan melakukan uninstall, memberi bintang 1, sehingga penyedia platform akan menurunkan di playstore atau appstore.
Hal ini disampaikan Sapto Anggoro, Dewan Pertimbangan dan Pengawas Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), menanggapi isu aplikasi Tempo Media yang sempat kena imbas gerakan review 1 bintang akibat cover Jokowi Pinokio di majalahnya.
Meski pihak Tempo kemudian menjelaskan jika hilangnya aplikasi di laman Play Store lebih karena alasan teknis, Sapto menilai, dalam beberapa tahun terakhir memang ada gejala tidak baik yang berkembang di sebagian masyarakat kita. Fenomena ini bergulir sejak menjelang pemilihan presiden, bahkan sesudahnya.
“Ini soal kedewasaan, utamanya kedewasaan berdiskusi. Media tidak berada di ruang hampa, publik bisa memprotesnya setiap saat, dan hak jawab dilindungi undang-undang,” tegas Pemimpin Redaksi tirto.id ini.
Pendiri media monitoring Binokular dan Padepokan ASA ini kemudian mengingatkan, media dalam hal menjalankan daya kritisnya, terutama yang berkaitan dengan masalah publik, adalah juga tercantum di pasal 3 (1) UU No. 40/99 tentang Pers.
“Bahwa media antara lain berfungsi sebagai edukasi dan kontrol sosial. Artinya, media yang kritis pada kebijakan publik adalah dalam rangka menjalankan amanat undang-undang. Tugas yang tak ringan, butuh wawasan dan kematangan berpikir bijak,” tegasnya.
Bagaimana sikap AMSI? “Internal meningkatkan kapasitas wartawan media anggota dengan pelatihan dan seminar agar mencapai laporan yang proper dan bisa dipertanggungjawabkan,” kata Sapto.
Ke luar, lanjutnya, dengan kerjasama pihak lain mulai dari kampus, instansi, LSM, dan kelompok sosial lainnya untuk melakukan pemahaman bersama tentang budaya kritis media dan hak-hak publik yang sesuai dengan UU dan Kode etik jurnalistik (KEJ).
“Ini pekerjaan yang terus menerus. Saat ini dengan pelatihan cek fakta di berbagai daerah adalah dalam bingkai peningkatan kapasitas anggota,” pungkasnya.