Hadirnya ruang publik seperti sosial media, ditambah mudahnya mengembangkan media online berbiaya rendah bahkan gratisan, membuat media siber berbasis good jornalism tak lagi sendirian. Seringkali, media ini dipaksa bertahan di tengah gempuran konten negatif di sekitarnya.
Diakui Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan, salah satu tantangan dalam ekosistem media online sekarang ini adalah bagaimana media tetap mempraktikkan good journalism, tapi bisa berkembang secara bisnis.
“Selama ini media online kerap memberi tempat untuk berita sensasional, aneh, karena diminati orang, yang itu ditandai dengan banyaknya berita diklik. Dalam jangka panjang, ini akan mendongkrak peringat di Alexa atau lembaga pemeringkat lainnya, dan ujung-ujungnya adalah iklan,” jelas Manan, Selasa (12/3/2019).
Fakta soal ini, lanjutnya, menimbulkan banyak pertanyaan di benak kita. Apakah itu bisa dikatakan sebagai cermin selera publik? Ataukah publik tidak punya banyak pilihan soal good journalism?
“Kalau pun memang itu selera publik, apakah media harus membebek dengan fenomena yang tidak sehat seperti itu? Iklan memang penting, tapi hanya ikut pada selera pasar juga bukan pilihan yang strategis dalam jangka panjang,” tegasnya.
Manan percaya, good journalism masih merupakan produk yang lebih menjanjikan. Cuma mungkin perlu lebih memperkaya dan kreatif dalam menjual atau mengemasnya.
Tentang strategi yang dilakukan agar tidak ikut larut dalam perangkap konten negatif, kata alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi – Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa AWS) ini, ini soal keberanian melakukan eksperimen.
Konten negatif atau yang tidak mendidik diakui kadang lebih menarik perhatin orang dan karena itu bagus untuk memperbanyak klik.
“Tapi apakah itu yang akan menjadi jualan utama media? Itu bukan jualan yang layak untuk media, karena tak mencerminkan watak dasar media yang punya fungsi mencerahkan,” kata Kordinator Bidang Organisasi Federasi Serikat Pekerja Media Independen ini.
Eksperimen memang perlu lebih banyak dilakukan. Antara lain, memberi publik dengan konten yang segmented, pilihan yang lebih kaya. Atau bisa juga melalui pengemasan, dengan memperbanyak grafis atau video. Atau membuat narasi yang lebih menggugah.
Menurut Manan, itu adalah eksperimen dari segi konten yang layak dicoba, agar tak terjebak pada rumus lama media online, yakni menjual berita sensasional karena mengejar rating dan iklan.
“Media perlu juga untuk lebih sering melirik pada praktik-praktik baik yang dicoba oleh media-media di luar,” ingat pria yang sejak 2001 aktif di Tempo ini.
Sejauh mana media siber pembawa good journalism mampu bertahan, Manan percaya, dalam jangka panjang, good journalism lebih baik secara bisnis.
“Dalam situasi tertentu, mungkin orang senang mengkonsumsi berita-berita yang kita sebut tidak bermutu. Tapi ada masa ketika masyarakat bosan, atau mungkin muak, dengan berita semacam itu,” yakinnya.
Manan juga percaya, secara naluriah orang mengkonsumsi media itu juga karena punya ekspektasi, media adalah panduan bagaimana bersikap dalam situsi politik, ekonomi atau sosial tertentu.
“Media yang mengandalkan pada berita-berita berselera rendah tak akan bisa menjalankan fungsi itu dengan baik,” tandasnya. (hdl)