Gelombang digitalisasi media tentu perlu dihadapi dengan bijak. Tak hanya oleh lembaga atau perusahaan media, tapi juga para jurnalis. Seperti diakui Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan, saat ini jurnalis menghadapi tantangan yang tak dihadapi generasi sebelumnya.
“Kompetisi jurnalis tidak hanya dengan sesama jurnalis, tapi juga dengan platform seperti media sosial yang membuat pekerjaannya jadi lebih menantang,” kata Manan.
Di masa lalu, lanjut redaktur di Tempo ini, jurnalis bisa menjadi sumber utama informasi bagi publik. Kini, peran itu juga dilakukan media sosial. Situasi inilah yang kemudian ikut berkontribusi bagi berkurangnya pemanfaatan media konvensional dan pergeserannya ke media sosial.
“Tantangan baru ini juga membutuhkan jurnalis yang punya skill tambahan. Bukan hanya agar tak sama dengan generasi sebelumnya. Yang utama adalah supaya ada nilai lebih dari informasi yang disampaikan, sehingga publik lebih tetap mempercayai media,” jelas Manan.
Mantan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Media Independen ini menggarisbawahi, hampir semua praktisi media di Indonesia punya satu pandangan sama, bahwa masa depan kita ada di digital.
Namun yang berbeda adalah bagaimana cara mempraktikkannya. Praktik ini dipengaruhi oleh banyak hal, yaitu kesiapan modal, teknologi, dan juga sumber daya manusianya, termasuk dalam soal bisnis.
“Namun fakta yang harus disadari, kue digital belum semanis yang diduga banyak orang pada awal-awal tumbuhnya media online. Sebab, kenyataannya, sebagian besar kue digital masih banyak lari ke mesin pencari dan media sosial,” ingat Manan.
Terkait isu tingkat kesejahteraan wartawan, kata Manan, untuk media online besar di Jakarta, kesejahteraannya sudah cukup baik. “Minimal di atas upah minimum. Namun situasi itu belum dicapai oleh banyak media online di daerah, yang masih dalam tahap rintisan atau perjuangan,” akunya.
Menanggapi pernyataan Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut dalam Rakernas AMSI beberapa hari lalu, banyaknya medium penyampai pesan semakin membuka kemungkinan hoaks, Manan menilai, platform media sosial, tidak terelakkan, menjadi medium yag sangat mudah untuk menyebarkan informasi bohong, palsu atau melakukan disinformasi.
“Karena watak dari medsos yang tak punya aturan yang ketat. Misalnya, orang mudah bisa anonim, dan membuat serta menghapus akun juga sangat mudah. Ini memberi iklim yang bagus bagi orang yang ingin melakukan praktik buruk di medsos,” ujar Manan.
Sementara media massa memiliki banyak regulasi dan etika yang jelas dalam mempublish informasi, dan itu membuatnya jauh lebih berhati-hati. Sebab, risikonya cukup besar. Misal, bisa digugat dan masih banyak lagi. Konteks ini yang kemudian bisa menjelaskan, mengapa ada trend penurunan kepercayaan terhadap medsos dan naiknya trust kepada media.
“Sebab, berita bohong dan ujaran kebencian saat ini dengan mudah tersebar di medsos, dan ini menjadi sumber ketidakpercayaan tersendiri,” tegasnya.
Manan kemudian mengingatkan, ini jadi kesempatan yang baik bagi media untuk merebut kembali kepercayaan publik. Tentu saja dengan caran tetap mempraktikkan good journalism, karena itulah yang akan menjadi pembeda antara media massa dengan media sosial.
“Saya berharap AMSI bisa menjadi motor untuk sejumlah inisatif-inisiatif baru dan kreatif para pelaku media online,” harap Manan.
Dengan tantangan yang begitu besar, media online perlu bekerja bersama untuk menghadapinya. Termasuk untuk mencari model bisnis digital yang belum sepenuhnya ditemukan, iklim jurnalisme media online yang kerap dipertanyakan karena banyak menjual hal-hal kurang penting bagi publik, dan masih banyak lagi.
Manan kemudian menambahkan, keberadaan AMSI diharapkan bisa menjadi tempat bagi inisiatif-inisiatif yang positif. Yang kemudian bisa dibahas, didiskusikan, dan diimplementasikan. Sebab, lanjutnya, masalah yang ada ini terlalu besar untuk dihadapi sendiri-sendiri oleh media.
Keberadaan organisasi seperti AMSI ini juga diharapkan dapat membantu media meningkatkan kemampuan media beradaptasi, dengan cara saling belajar dari keberhasilan dan kegagalan media online lainnya. “Selain itu, AMSI juga bisa menjadi pendorong lebih banyak kerja kolaborasi sesama media online,” pungkasnya. (hdl)