Digitalisasi menjadi topik yang menjadi pembicaraan utama jurnalis dan pekerja media beberapa tahun ini. Perkembangan ini dipicu oleh massifnya pemanfaatan internet, dan kian terjangkaunya teknologi komunikasi dan infrastruktur pendukungnya yang makin baik dan luas. Penguna internet Indonesia saat ini sekitar 150 juta, lebih dari separoh populasi Indonesia yang sebanyak 260 juta.
Meluasnya pemanfaatan internet ini, tak bisa dihindari, mengubah pola penduduk dalam mengakses informasi dan cara media menyediakan berita. Digitalisasi ini menciptakan iklim perubahan pola konsumsi berita dari media konvensional ke digital, baik melalui media online maupun media sosial. Perkembangan ini mendoroang media untuk memberikan fokus baru -kalau bukan malah beralih-ke digital.
Peralihan besar ke digital ini diikuti juga perkembangan lainnya, yaitu alokasi iklan, cara kerja jurnalis dan jurnalisme. Digitalisasi mendorong para pengiklan mulai mengalihkan kue belanja iklannya dari media konvensional ke media digital, terutama ke mesin pencari dan media sosial. Hal ini berkontribusi bagi penurunan iklan media konvensional dan ikut menyumbang bagi tutupnya sejumlah perusahaan media cetak belakangan ini.
Digitalisasi juga mengubah cara kerja jurnalis. Digitalisasi mendorong media mengembangkan sayap digitalnya, dan itu mensyaratkan adanya perubahan pola kerja dari yang selama ini dilakukan dan juga membutuhkan keterampilan baru yang harus dikuasai. Jurnalis media cetak yang selama ini hanya menulis berita, mulai diminta untuk membuat berita yang bisa dipakai untuk radio, online atau TV.
Jurnalisme yang dikembangkan media juga “menyesuaikan” dengan arus perubahan ini. Ada yang mengikuti arus ini dengan pragmatis, yang itu kemudian memicu kritik terhadap kualitas jurnalismenya. Persaingan dengan media sosial membuat sejumlah media mengikutinya dengan berita cepat dan juga berusaha menjual atau mengemas berita agar lebih banyak dibaca (click bait) sehingga bisa mendapatkan iklan.
Tak semua media mengikuti apa yang disebut sebagai “resep klasik” bertahan di dunia digital tersebut, yaitu mengejar kecepatan dan menjual sensasi untuk mendapatkan iklan. Ada juga media yang bertahan dengan jurus klasik “content is king” dengan terus menerapkan jurnalisme investigasi dan mengembangkan jurnalisme data.
Namun narasi yang banyak diketahui publik, media berusaha bertahan di era digital ini dengan menomorsatukan bisnis dan mengabaikan prinsip-prinsip dasar jurnalisme. Beberapa contoh yang kerap dipakai untuk mereka yang memiliki pandangan ini adalah bahwa media kini tergoda menyediakan informasi yang “ingin” dibaca, bukan lagi apa yang “seharusnya” dikonsumi publik sebagai sebuah produk jurnalisme. Sebagai produk jurnalisme, berita tak hanya harus memenuhi kaidah kebenaran, tapi juga mencerahkan publik.
Situasi mendorong keprihatinan soal nasib jurnalisme di era digital. Sejumlah pertanyaan yang mengemuka dalam soal ini, seperti apa wajah jurnalisme Indonesia di tengah badai digital ini? Benarkah media sudah benar-benar mengikuti arus pasar dan tak lagi mengikuti norma-norma prinsip dalam jurnalisme? Ini baru gejala atau sudah menjadi pola kerja umum media di Indonesia?
Bagi jurnalisme, dan ini bukan hanya masalah Indonesia, tantangan yang dihadapi kini bukan semata soal perubahan iklim bisnis akibat digital. Tantangan lainnya juga menguatnya politik identitas, kefanatikan, yang melihat media dari kacamata sempit: jika tak sejalan dengan kepentingannya, dia akan disudutkan dan didelegitimasi. Taktik ini dipakai oleh para pemimpin sayap kanan atau penganut populisme seperti Donald Trump di Amerika Serikat.
Topik inilah yang diangkat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk memperingati hari ulang tahunnya yang ke-25 pada tahun 2019 ini. Konferensi nasional bertema Tantangan Jurnalisme di Era Digital ini akan dilaksanakan Selasa, 6 Agustus 2019, di Hotel JS Luwansa, Pukul 12.30-18.00 WIB.
Konferensi Nasional Sesi I: Wajah Kebebasan Pers Indonesia
1. Pemenang Call for Papers*
2. Abdul Manan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
3. Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif LBH Pers
Moderator: Fira Abdurrahman, Jurnalis freelance
Konferensi Nasional Sesi II: Mencari Model Jurnalisme Indonesia
1. Pemenang Call for papers*
2. Nezar Patria, Pemimpin Redaksi the Jakarta Post
3. Ninuk Pambudy, Pemimpin Redaksi Harian Kompas
Moderator : Andy Muhyidin, Liputan 6
Konferensi Nasional Sesi III: Menemukan model bisnis untuk media di Indonesia
1. Pemenang Call for papers*
2. Wenseslaus Manggut, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI)
3. Titin Rosmasari, Pemimpin Redaksi CNN TV
Moderator : Aloysius Budi Kurniawan, Harian Kompas
-Bagi yang berminat mengikuti konferensi nasional ini, silakan mendaftar secara online melalui http://bit.ly/konferensi-AJI atau mengirimkan email Registrasi ke [email protected] sampai tanggal 5 Agustus 2019 dengan Subyek: Registrasi Peserta Konferensi Nasional.
-Panitia menyediakan sertifikat bagi peserta yang mengikuti konferensi secara penuh
-Informasi lebih lanjut soal acara konferensi, silakan kontak Sekretariat AJI Indonesia Jl. Sigura Gura No.1, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan 12760 Telepon: 021-22079779