Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) berharap pemerintah mengeluarkan regulasi jelas terhadap perusahaan teknologi yang memproduksi konten atau berita, seperti Google, Facebook, dan sebagainya.
Ini karena kehadiran perusahaan teknologi turut andil menjadi penyebar berita palsu (hoax) ke masyarakat.
“Analoginya, berita ibaratnya penumpang. Semua berita-berita siber yang ada, baik dari perusahaan media siber, penyedia konten abal-abal, berita hoaks diangkut semua oleh bus, yakni perusahaan teknologi seperti Google.”
“UU ITE hanya menjerat penumpangnya. Sementara busnya tidak diatur secara jelas,” terang Wens Manggut, Ketua AMSI saat mengisi materi Lokakarya Media 2019 bertema ‘Pengenalan Media Siber, Berita Hoaks, serrta Peraturan yang Terkait’ yang digagas SKK Migas-KKKS Jabanusa di Kota Batu, Selasa (6/8/2019).
Menurutnya, ada dua ekosistem konten atau berita siber yang dikonsumsi masyakarakat, yakni melalui eksosistem perusahaan media siber dan ekosistem perusahaan teknologi.
Pemberitaan oleh perusahaan media siber secara jelas telah diatur lewat UU Pers, pedoman pemberitaan siber, hingga kode etik jurnalistik.
Di sisi lain, penyebaran berita hoaks yang justru banyak beredar dalam konten perusahaan teknologi tidak diatur secara jelas oleh pemerintah.
Konten-konten abal-abal dan berita hoaks, mudah menjadi viral dan dikonsumsi masyarakat dengan bantuan mesin dalam Google.
“Kita yang berada di ekosistem perusahaan siber telah diatur dengan baik. Bagaimana dengan perusahaan teknologi?”
“Bisa nggak, misalnya ketika seseorang menggunakan mesin pencari Google, lantas muncul notifikasi bahwa berita yang dicari itu mengandung hoaks?”
“Atau bisakah Facebook misalnya, ketika diakses muncul pop up tentang klarifikasi hoaks yang beredar saat ini?” papar Wens.
Penyebaran berita hoaks menjadi cepat karena berita hoaks tersebar melalui referal.
Wens mengungkapkan menurut data, sekitar 30 persen pengguna internet langsung mencari berita menuju website yang dituju.
Sementara 70 persen membaca berita atau konten dari referal seperti Facebook, Youtube, Line, atau Twitter.
“Penyebaran hoaks harus juga dilawan dengan teknologi. Pemerintah jangan hanya menangkapi penyebar hoaks, sementara perusahaan teknologinya bermain bebas.”
“Kalau perusahaan diatur, yang abal-abal sudah dicegah sejak di hulu,” tegas Wens.
Berita Berbayar
Perkembangan teknologi finansial technologi (fintech) akan turut mengubah pola bisnis dan distribusi konten media siber.
Wens menjelaskan belakangan kecepatan teknologi keuangan telah merambah banyak ranah kepentingan masyarakat.
Menyimpan uang dalam bentuk aplikasi memudahkan seseorang mudah bertransaksi, termasuk dalam transaksi akses berita siber.
Penyedia konten berita berbayar cukup bekerjasama dengan fintech.
Hanya dengan biaya murah, bahkan membayar lewat points yang dikumpulkan pengguna dalam aplikasi fintech, pengguna telah bisa mengakses berita.
“Bahkan yang juga akan berkembang, pembaca juga bisa dibayar ketika mengakses berita.”
“Penyedia konten mendapat iklan, lantas biaya iklan itu dishare juga dengan pembaca,” terangnya.
Dengan kehadiran berita berbayar murah,otomatis juga bisa berpengaruh pada konsumen pembaca berita siber.
Pembaca berita yang semula disuguhi berita pendek dan hanya permukaan, akan mulai tertarik dengan berita-berita berbobot dan mendalam yang disajikan penyedia konten berita berbayar.
Pemateri lain, praktisi media Lutfi Hakim menekankan, selain hoaks, praktik ‘framing’ (pembingkaian berita) dalam jurnalisme tak kalah berbahaya.
Framing yang dibuat secara halus bisa menggantikan substansi berita, baik bertujuan positif atau negatif. Banyak berita dizonasi untuk kepentingan tertentu.
“Tulisan framing tetap berdasar kaidah jurnalistik, namun pasti ada motif. Pelajar dulu, jangan asal ikut-ikutan memberitakan,” tuturnya.
sumber : tribunnews.com